Apakah aku dan Venus Telah Tiada?– Cerita Romantis Dewasa 21++ - Andini Citra - Google knygos
Dapatkan free ebook sinopsis dan pratinjau judul kami lainnya di:-> -> bit.ly/andini-citras <- <-*Keunggulan Ebook ini:- Halaman Asli, tersedia header dengan judul bab- Baca dengan keras, Menjadi audio book dengan dibacakan mesin berbahasa Indonesia- Teks Mengalir, menyesuaikan ukuran layar- Ukuran font dan jarak antar baris kalimat bisa diperbesar atau perkecil sesuai selera- Bisa ganti jenis font- Warna kertas/background bisa diubah menjadi Putih, Krem, dan Hitam ---------- ContentsThe Birth of a Hunter—1Venus, where are you?—23*SinopsisKepedihan hati yang mendalam dirasakan oleh seorang pemuda, bagaimana ia menyaksikan wanita idaman hatinya diperkosa didepan mata. Ia sendiri sudah dalam kondisi terluka karena beberapa sabetan senjata tajam mengenai punggung dan perut. Dengan tenaga apa adanya ia menerjang sekuat tenaga untuk menghalau para pemerkosa. Cerita menegangkan ini dikemas dalam kalimat sastra yang enak untuk dibaca*PratinjauSenin pagi yang panas menerpa kota Bogor.Somewhere in Bogor, 2018Terdengar tawa canda riang sekelompok anak muda yang turun dari bis kota. Mereka terlihat begitu riang padahal untuk mencapai sekolahnya mereka masih harus berjalan kurang lebih 15 menit lagi. Namun, beberapa langkah di belakang kelompok tersebut melangkah seorang pemuda sendirian. Ia tidak bergabung dengan rekan-rekannya. Kedua tangannya diselipkan di kantung celananya, memainkan koin-koin logam yang selalu berbunyi di setiap langkahnya. Ia tertunduk, melangkah sambil memandangi jalanan yang sedikit lembab. Tidak diperhatikannya kemilau embun pagi di helai-helai rerumputan, atau kicau burung yang dengan riang menanyakan kabarnya. Ia mendesah dan mengangkat wajahnya. Kelompok teman-temannya telah cukup jauh di depannya. Gelak tawa mereka masih terdengar di telinganya.Mendadak ia terhenti. Sebuah pikiran nakal terlintas di benaknya, dan ia tersenyum. Tak lama kemudian ia berbalik dan melangkah ke arah yang berlawanan dengan tujuannya. Beberapa ratus meter sebelum persimpangan yang menghubungkan jalan sekolah dan dunia luar sang pemuda kembali berhenti. Ia memalingkan wajahnya sejenak ke dunia yang akan ditinggalkannya seakan mengucapkan selamat berpisah dan melanjutkan langkahnya.Terminal bus Baranang Siang tidak nampak begitu padat hari itu. Beberapa gelintir manusia nampak hilir mudik, sibuk dengan berbagai kegiatannya. Sang pemuda memicingkan matanya. Mengapa matahari begitu terik hari ini, pikirnya. Ia berjalan agak cepat menuju halte bus dan dengan setengah memaksa berusaha naik ke dalam bus kota yang telah penuh sesak. Berjejal di antara penumpang dan embusan asap rokok, ia akhirnya menghempaskan dirinya di atas kap mesin di dekat sopir sambil matanya menatap berkeliling memperhatikan suasana sekitarnya. Seorang kakek tua dengan kemeja hitam yang lusuh lengkap dengan kopiah bututnya tengah tertidur lelap. Mulutnya setengah terbuka, sementara di sebelahnya seorang ibu muda tengah berusaha mendiamkan bayinya yang terus menangis karena panas yang melekap. Sang pemuda menyeka keningnya dari keringat yang mengalir turun.Bus kota mulai melaju. Berjalan mengikuti trayek yang telah ditentukan. Sang pemuda tertunduk, memejamkan matanya dan terlelap dalam kesendiriannya.Jakarta, kota tujuan dari bus yang ditumpangi seorang pemuda berpakaian seragam sebuah SMU yang cukup terkenal di kota hujan kini telah berada di ambang mata. Sang pemuda terbangun matanya menatap kosong. Untuk beberapa saat ia tidak tahu sedang berada di mana. Namun, sejenak kemudian ia sadar dan teringat akan tujuannya. Sebuah rumah kecil di daerah Kelapa Gading, tempat di mana ia melarikan diri bila merasa hampa. Tempat di mana ia terbiasa untuk mentransmutasikan emosi jiwa menjadi suatu karya. Tempat di mana ia merasa diterima sebagai dirinya sendiri. Tempat di mana ia tidak dibenci hanya karena ia berbeda. Tempat di mana perbedaan kultur, ras, dan agama bukanlah suatu hal yang perlu dipersoalkan. Sebuah Sanctuary bagi manusia yang terbuang dari kalangannya.Terdengar suara kondektur menandakan bahwa bus akan memasuki terminal. Terminal. Pikir sang pemuda. Sebuah tujuan akhir, yang akhirnya justru hanya menjadi tempat singgah. Just like me. Seulas senyum sinis terlukis di bibirnya yang tipis. Ia melompat turun dari bus yang tengah melaju pelan. Tujuan dihatinya telah ditetapkan dan ia kini semakin mendekatinya.Angkutan yang membawa sang pemuda berhenti tempat di depan jalan kecil pintu rumah itu. Sebuah rumah berwarna putih berpagar hitam. Biasanya dari luar tempatnya berdiri, dapat terdengar suara riang penuh canda yang kadang diselingi dengan bunyi entakkan alat musik elektrik. Namun hari ini semuanya begitu sunyi. Senyap, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Hening. Sang pemuda mengulurkan tangan untuk membuka pagar besi tersebut, namun beberapa senti sebelum jemarinya sempat menyentuh, ia berhenti.Ada ragu di hatinya. Sejenak ia berfikir, seakan mengulur waktu sebelum ia melakukan sebuah kesalahan yang lebih fatal. Akan tetapi, kebutuhan untuk menyalurkan rasa itu lebih kuat daripada nalarnya dan ia melangkah memasuki pekarangan rumah putih berpagar hitam.Hening. Sang pemuda melangkah di atas lantai teras dan mengetuk pintu kayu yang memisahkan penghuninya dari dunia luar. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Kembali tangannya terulur mengetuk dan ia menunggu. Tanpa disadarinya dua pasang mata mengawasi dari balik pepohonan pagar yang tumbuh cukup lebat di pekarangan rumah. Beberapa pasang mata yang menatap nanar penuh nafsu. Sang pemuda tak sempat berteriak saat beberapa tangan meringkusnya. Ia berusaha melawan namun sebuah pukulan keras di kepalanya membuatnya kehilangan kesadaran dan semuanya menjadi gelap.Rintihan. Ya, ada suara rintihan wanita. Sang pemuda mulai tersadar dari kegelapan. Ada sakit yang teramat di bagian pelipisnya dan sedikit rasa basah yang lengket pada rambutnya. Ada rintihan. Suara wanita yang merintih kesakitan. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ruangan itu gelap. Cahaya matahari hanya dapat meremangi kamar dari balik gorden tebal yang menutupi kaca jendela. Ada suara tawa lelaki. No, a couple of them. Ia memeriksa sekelilingnya. Hening. Sepertinya ia ditinggalkan sendiri sementara para penyerangnya sibuk dengan diri masing-masing.